Senin, 24 Desember 2007

Jumpa lagi

Sudah setengah tahun kita tak jumpa. Tak terasa,waktu begitu cepat berlalu. Detik demi detik, menit ke menit, seolah sesuatu yang tak berharga yang sering kita campakkan begitu saja.
Malam ini, kucoba kembali menggoreskan "tinta" ke atas "lembaran" kanvas diary digitalku.
Sekian lama rehat menjadikannya tak mudah untuk menyusun untaian kata yang bisa kunikmati.

Baru saja seorang kawan datang berkunjung ke kantor. Seperti biasa, tanpa basa-basi panjang lebar, dia membeberkan masalah pekerjaannya. Biasanya aku lebih sering diam mendengarkan, tapi tak tahu mengapa aku tadi agak aktif berkomentar. Dan kini,  hanya penyesalan yang kurasakan. Aku telah menambah dosa lagi, memakan bangkai saudara. Astaghfirullah....

Usia 25 tahun belum menjadikan aku benar-benar dewasa dan matang. Bagiku, kadang hidup ini masih begitu penuh misteri yang sulit diungkap. Namun di lain waktu, Allah seolah-olah membuka semua tabir misteri yang sebelumnya tak kupahami. Itu terjadi ketika hati ini 
benar-benar hanya bergantung pada-Nya. Saat jiwa ini pasrah atas semua ketetapan-Nya, tak secuil pun dunia diharap. Tahukah kawan, bagaimana perasaanku ketika itu? Seandainya kau membelah dadaku untuk melihat hatiku, tentu kau akan rebut hatiku untuk kau miliki.

Tapi, momen itu kini tak lagi di tangan. Meskipun dengan jelas sekali dapat kulihat dimana dia, 
tapi ada tabir yang sangat sulit kutembus.  Salahku memang, akulah yang memasang tabir itu. Ugh.. bodohnya aku. Bila diibaratkan mendaki anak tangga, saat ini aku sedang terjatuh turun. Tak tanggung-tanggung jatuhku, banyak anak tangga yang sudah kulewati harus kutiti lagi karena jauhnya
 tempatku terjatuh. Dan lagi, staminaku saat ini tak sebesar dulu. Kurangnya asupan nutrisi 
kini membuatku lemah dan mudah menyerah. Beberapa kali dengan mudahnya kuberikan 
leherku untuk disembelih musuh. Dan sesering itu pula leherku terpenggal. 

Meski demikian, aku masih patut dan harus bersyukur. Masih disisakan-Nya remah-remah 'roti' yang masih dapat kumakan untuk menopang punggungku.

Kamis, 19 Juli 2007

Pelangi

Pelangi-pelangi, alangkah indahnya
Merah kuning hijau, di langit yang biru
.......

Sepenggal lagu yang pasti tidak asing di telinga kita. Dan hampir setiap kita hafal bait-bait lagu tersebut. Sebuah permainan yang sedang sangat populer saat ini, komidi putar keliling. Hampir setiap sore kantor tempat saya bekerja selalu dilewati. Maklum, kantornya di daerah perumahan penduduk, Mas. Komidi putar itu menawarkan tarif sekali genjot Rp 1.000,- selama satu lagu diputar. Lagu 'pelangi' ini diputar oleh si Abang untuk menarik perhatian anak-anak sekitar komplek. Saya jadi ingat masa kecil dulu. Rasanya hidup ini hanya untuk senang-senang. Kalo ngga bermain, ya bermain. Lho? Lha gimana, mau belajar ngga da kemauan. Saya memang terlahir di keluarga dengan budaya ndeso alias katrok-maaf Mas Tukul, saya mbajak. Kedua orangtua saya memang bukan dari golongan terdidik. Ayah seorang lulusan SR--entah lulus atau tidak, dengan profesi sebagai seorang petani tradisional. Sedangkan ibu tidak pernah mengenyam pendidikan duniawi, beliau hanya seorang jebolan madrasah diniyah.

Saya tidak menyesali dilahirkan dalam kondisi keluarga seperti itu, meskipun jujur, dulu memang pernah punya rasa tidak terima. Tapi mau bagaimana lagi, lha wong sudah seperti ini yang harus saya jalani. Kini, saya sangat bersyukur degan apa yang telah Allah berikan. Di keluarga, saya termasuk anak yang sempat mengenyam pendidikan paling tinggi, meskipun cuma bergelar AMD. Seluruh kakak saya, yang berjumlah 5 orang, paling banter hanya sempat sekolah hingga SMP, sedangkan adik lulus SMA.

Kembali ke masa kecil saya. Memori paling tua yang masih saya ingat adalah pengalaman mas kecil saya di Jogja. Di Kota Gudeg itu, saya ikut kakak perempuan saya yang baru menikah dan merantau di sana. Hanya 6 bulan sebenarnya saya tinggal di sana. Tapi kenangan-kenangan peristiwa Jogja masih begitu melekat. Ada Sipras, teman seusia, anak empunya kost dan adiknya, Si Udin yang super nakal. Ada juga Pak Jamal dan Bu Jamal yang baik hati. Keduanya berprofesi sebagai guru SMP. Kedua anaknya juga menuruni sifat orangtua mereka. Mas Nanang, yang waktu itu sedang duduk di bangku SMP, sering ngajak aku maen. Juga adiknya, lupa namanya, sering momong aku di rumahnya untuk sekedar main dan memetik buah jambu biji. Aku sangat ingat, di rumah mereka ada pohon jambu biji yang tumbuh di dalam pekarangan dalam rumah. Beberapa kali keluarga ini juga ngajak saya jalan-jalan dengan motor Vespa-nya Pak Jamal. Saya paling senang berdiri di bagian depan, dan seringnya nggak sengaja nginjak rem.

Pengalaman yang hingga kini terus kuingat, bahkan keluargaku juga masih ingat adalah saat shalat 'Idul Fitri. Kebetulan kakak memutuskan pulang setelah hari H. Nah, waktu itu aku pergi ke lapangan tempat sholat bersama teman-teman. Karena saking ramenya, aku kehilangan teman-temanku setelah sholat bubar. Panik, akupun menagis. Tapi dasar aku ini pemalu, meskipun nangis, tapi aku nggak mau orang lain tahu kalo aku sedang nangis. Sambil kututup wajahku, aku berjalan sendirian di antara banyak orang sambil membawa balon yang dibelikan kakakku. Di jalan aku mendengar suara anjing menyalak-nyalak. Karena tambah takut, tangisku pun menjadi. E... ternyata menarik perhatian orang. Mereka pada ngomongin aku, "Ada anak kecil nangis, siapa ortunya?", kata seorang dari mereka. "Mungkin anak ini hilang dari induknya.", kata yang lain lagi. Akhirnya ada seorang bapak bersepeda menghampiri aku. Masih dengan menutup mukaku karena malu, kuturuti bapak itu memboncengkan aku menuju rumahnya. Aku pun nggak bilang apa-apa. Sampai di jalan, kakakku berjalan bersama beberapa wanita di depan dan melihatku. Sontak saja suasana jalan jadi rame, pada ngomongin aku. Akhirnya aku diambil kakakku dari bapak itu. Beberapa hari kemudian kami sempat berkunjung ke rumah bapak yang menemukan aku untuk berterima kasih.

Kini, aku sendiri sudah nggak ingat persisnya nama daerah itu, yang jelas masuk wilayah kabupaten Sleman. Aku juga nggak tahu apakah tokoh-tokoh yang berperan di masa kecilku di Jogja masih ingat aku apa tidak, dan entah apa mereka masih berdomisili di sana.

Yach, begitulah yang namanya kehidupan. Ada pertemuan pasti ada perpisahan. Dunia ini terus berputar, dan tidak akan berputar balik, kecuali kiamat.

Selasa, 17 Juli 2007

Ya Alloh, jadikan hamba Ridha

Ridha Allah. Ya, sebuah jaminan surga bagi siapa yang mendapatkannya. Tapi pertanyaannya adalah, bagaimana kita tahu bahwa Allah telah ridha kepada seorang hamba?
Kehidupan sering tidak seperti yang kita harapkan. Beginilah Allah menciptaknnya, sebagai ujian bagi hamba-hamba-Nya.
Bertahun-tahun lamanya aku memendam gejolak dan rahasia ini. Aku sendiri tak pernah tahu kapan dan bagaimana persisnya semua ini bermula. Hingga bertahun-tahun kemudian aku menyadarinya, dan seakan dunia bagiku sudah kiamat. Tak bisa lagi kuberharap. Ingin rasanya kuakhiri hidupku, dan kuajak semua yang ada di dunia ini bersamaku...hancur. Aku benci diriku, aku benci semua orang, aku benci dunia ini, dan aku benci kehidupan ini. Aku tak tahu apakah aku masih memiliki iman waktu itu. NA'udzubillah min dzalik.
Sering terlontar dari mulutku pertanyaan kenapa? Kenapa aku mengalami ini? Kenapa aku harus mengalami ini? Apakah salah dan dosaku? Atau apakah harus aku yang menanggung dosa nenek moyangku? Kutanya kepada setiap benda di sekelilingku. Tak satupun bersuara, membisu biru.
Kini kutemukan jawabnya. Segala puji bagi Alloh yang telah menetapkan qadha'-Nya begitu indah bagiku. Sebuah rencana dan rancangan yang sangat sempurna, harmonis dan teratur; yang hanya bisa dilihat oleh orang yang diberi-Nya kenikmatan berupa hidayah. Yah, jawaban yang sudah sangat lama kunanti. Jawaban yang sudah membuat aku sangat putus asa. Dan ternyata kusadari sebenarnya waktu itu aku masih sedikit punya harapan. Minimal aku masih bertahan hidup untuk menanti jawaban yang tak tahu kapan kan datang.
Jawaban ini sebenarnya sudah sering kudengar sejak dulu. Semua sudah menjadi ketetapan Alloh, dan setiap qadha'-Nya pasti baik bagi hamba-Nya. Ya, itulah jawabannya. Singkat dan mengena. Kita memang hanya seorang makhluk ciptaan-Nya. Setitik noktah di antara ciptaan-Nya yang sangat luas. Kita bisa berbuat apa, kalau Dia sudah berketetapan? Dia, Sang Khaliq, Yang Maha Pemurah, tidak akan pernah mendzalimi hamba-Nya.
Kini, dengan berlimpahan rahmat dan hidayah dari-Nya, aku menjalani hidupku. Meskipun aku sendiri sadar, aku belum layak mendapat ridha-Nya. Aku masih seorang hamba yang lemah, yang masih jarang bersyukur, yang masih sering mengkhawatirkan kehidupan duniaku. Tapi kalau dipikir, jika memang Alloh menghendaki kita untuk tidak menikmati dunia; menjauhkan kita dari kenikmatan yang dihalalkan, mengapa kita tidak husnudzan saja pada-Nya. Bukankah Dia yang memiliki seluruh yang ada di langit dan di bumi? Dan bukankah Dia yang memberi rizki bagi yang dikehendaki-Nya? Atau Dia-lah yang berkehendak mencabut kenikmatan dari siapa yang dikehendaki-Nya. Amat sedikit ilmu yang kita miliki, dan amat sedikit pula kita bersyukur terhadap nikmat-Nya yang sangat besar. Mengapa tidak kuarahkan hati ini untuk berfikir, tidakkah kita akan bahagia dengan kabar gembira, bahwa Dia menyimpan kesenangan untuk kita di sisi-Nya, di akhirat sana; surga. Sabarkah kita?Wallahu a'lam.

Kamis, 12 Juli 2007

Beginilah Alloh Menciptakannya

Sengatan teriknya matahari tak menyurutkan semangat orang-orang yang ada di pasar pagi. Demi sesuap nasi; kurasa tak hanya itu yang mereka usahakan, mereka rela berlalu-lalanng di bawah panasnya mentari dan terpaan debu yang beterbangan disapu angin. Tak kuhiraukan aktivitas mereka. Aku sendiri juga tidak tahu persis apa sebenarnya yang kurasakan. Aku juga tak mau terlalu berprasangka lebih jauh, meskipun firasat mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.
Aku tetap berusaha untuk tidak melayani bisikan itu. Hingga suatu saat.... Semuanya terbuka. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, bahwa peristiwa ini akhirnya terjadi. Sebuah mimpi buruk yang kini menjadi kenyataan.
Entah karena aku memiliki sifat hiper-sensitif, atau sebuah bisikan dari sesuatu - sesosok yang aku sendiri tidak yakin, perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi begitu menekanku. Perasaan atau bisikan itu begitu kuat hingga mendorongku untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa kesulitan berarti; dan seolah-olah ada sesuatu yang mengarahkanku, dengan mengumpulkan sisa-sisa kekuatan dari dalam diri, kupaksa untuk tetap bertahan menghadapi kenyataan ini.
Memang seperti inilah yang harus aku jalani. Meskipun kalimat itu muncul berhari-hari setelah kejadian itu, aku sangat bersyukur Alloh memberiku kekuatan untuk tetap bertahan hingga sekarang. Kalau bukan karena keyakinan bahwa, bunuh diri merupakan tindakan kufur, yang akan menyebabkan pelauknya kekal di neraka, entah apa jadinya aku ini. Na'udzubillah min dzalik.
Kini dengan inayah dari Alloh, aku mulai membangun kesadaran bahwa beginilah Alloh menciptakan dunia. Tak ada yang mulus di dunia ini. Karena Alloh memang menciptakannya sebagai ujian bagi manusia.