Kamis, 19 Juli 2007

Pelangi

Pelangi-pelangi, alangkah indahnya
Merah kuning hijau, di langit yang biru
.......

Sepenggal lagu yang pasti tidak asing di telinga kita. Dan hampir setiap kita hafal bait-bait lagu tersebut. Sebuah permainan yang sedang sangat populer saat ini, komidi putar keliling. Hampir setiap sore kantor tempat saya bekerja selalu dilewati. Maklum, kantornya di daerah perumahan penduduk, Mas. Komidi putar itu menawarkan tarif sekali genjot Rp 1.000,- selama satu lagu diputar. Lagu 'pelangi' ini diputar oleh si Abang untuk menarik perhatian anak-anak sekitar komplek. Saya jadi ingat masa kecil dulu. Rasanya hidup ini hanya untuk senang-senang. Kalo ngga bermain, ya bermain. Lho? Lha gimana, mau belajar ngga da kemauan. Saya memang terlahir di keluarga dengan budaya ndeso alias katrok-maaf Mas Tukul, saya mbajak. Kedua orangtua saya memang bukan dari golongan terdidik. Ayah seorang lulusan SR--entah lulus atau tidak, dengan profesi sebagai seorang petani tradisional. Sedangkan ibu tidak pernah mengenyam pendidikan duniawi, beliau hanya seorang jebolan madrasah diniyah.

Saya tidak menyesali dilahirkan dalam kondisi keluarga seperti itu, meskipun jujur, dulu memang pernah punya rasa tidak terima. Tapi mau bagaimana lagi, lha wong sudah seperti ini yang harus saya jalani. Kini, saya sangat bersyukur degan apa yang telah Allah berikan. Di keluarga, saya termasuk anak yang sempat mengenyam pendidikan paling tinggi, meskipun cuma bergelar AMD. Seluruh kakak saya, yang berjumlah 5 orang, paling banter hanya sempat sekolah hingga SMP, sedangkan adik lulus SMA.

Kembali ke masa kecil saya. Memori paling tua yang masih saya ingat adalah pengalaman mas kecil saya di Jogja. Di Kota Gudeg itu, saya ikut kakak perempuan saya yang baru menikah dan merantau di sana. Hanya 6 bulan sebenarnya saya tinggal di sana. Tapi kenangan-kenangan peristiwa Jogja masih begitu melekat. Ada Sipras, teman seusia, anak empunya kost dan adiknya, Si Udin yang super nakal. Ada juga Pak Jamal dan Bu Jamal yang baik hati. Keduanya berprofesi sebagai guru SMP. Kedua anaknya juga menuruni sifat orangtua mereka. Mas Nanang, yang waktu itu sedang duduk di bangku SMP, sering ngajak aku maen. Juga adiknya, lupa namanya, sering momong aku di rumahnya untuk sekedar main dan memetik buah jambu biji. Aku sangat ingat, di rumah mereka ada pohon jambu biji yang tumbuh di dalam pekarangan dalam rumah. Beberapa kali keluarga ini juga ngajak saya jalan-jalan dengan motor Vespa-nya Pak Jamal. Saya paling senang berdiri di bagian depan, dan seringnya nggak sengaja nginjak rem.

Pengalaman yang hingga kini terus kuingat, bahkan keluargaku juga masih ingat adalah saat shalat 'Idul Fitri. Kebetulan kakak memutuskan pulang setelah hari H. Nah, waktu itu aku pergi ke lapangan tempat sholat bersama teman-teman. Karena saking ramenya, aku kehilangan teman-temanku setelah sholat bubar. Panik, akupun menagis. Tapi dasar aku ini pemalu, meskipun nangis, tapi aku nggak mau orang lain tahu kalo aku sedang nangis. Sambil kututup wajahku, aku berjalan sendirian di antara banyak orang sambil membawa balon yang dibelikan kakakku. Di jalan aku mendengar suara anjing menyalak-nyalak. Karena tambah takut, tangisku pun menjadi. E... ternyata menarik perhatian orang. Mereka pada ngomongin aku, "Ada anak kecil nangis, siapa ortunya?", kata seorang dari mereka. "Mungkin anak ini hilang dari induknya.", kata yang lain lagi. Akhirnya ada seorang bapak bersepeda menghampiri aku. Masih dengan menutup mukaku karena malu, kuturuti bapak itu memboncengkan aku menuju rumahnya. Aku pun nggak bilang apa-apa. Sampai di jalan, kakakku berjalan bersama beberapa wanita di depan dan melihatku. Sontak saja suasana jalan jadi rame, pada ngomongin aku. Akhirnya aku diambil kakakku dari bapak itu. Beberapa hari kemudian kami sempat berkunjung ke rumah bapak yang menemukan aku untuk berterima kasih.

Kini, aku sendiri sudah nggak ingat persisnya nama daerah itu, yang jelas masuk wilayah kabupaten Sleman. Aku juga nggak tahu apakah tokoh-tokoh yang berperan di masa kecilku di Jogja masih ingat aku apa tidak, dan entah apa mereka masih berdomisili di sana.

Yach, begitulah yang namanya kehidupan. Ada pertemuan pasti ada perpisahan. Dunia ini terus berputar, dan tidak akan berputar balik, kecuali kiamat.

Tidak ada komentar: